Judul : Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat
link : Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat
Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat
Empat jenis harta
yang disebutkan di atas semuanya disepakati oleh ulama, kecuali harta
perdagangan. Ada khilaf di antara ulama apakah harta perdagangan terkena zakat atau tidak.
Jenis-jenis Harta yang Terkena Zakat
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/8)
menerangkan bahwa zakat hanya disyariatkan pada jenis-jenis harta yang
mengalami pertambahan. Ada yang bertambah dengan zatnya itu sendiri,
seperti binatang ternak dan hasil bumi. Ada pula yang bertambah dengan
pergantian zat dan penggunaannya, seperti emas.
Semakna dengan ini adalah pernyataan Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/17): “Zakat
tidak diwajibkan atas setiap harta. Zakat hanya diwajibkan atas harta
yang mengalami pertambahan secara hakiki atau secara hukum. Yang
bertambah secara hakiki seperti: hewan ternak, biji-bijian dan
buah-buahan, dan harta perdagangan. Yang bertambah secara hukum seperti:
emas dan perak jika tidak diperdagangkan. Sebab meskipun keduanya tidak
bertambah, namun secara hukum dianggap bertambah, karena kapan saja
seseorang menghendaki dia bisa memperdagangkannya.”
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu dalam Zadul Ma’ad (2/5): “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat pada empat jenis harta
yang merupakan harta-harta yang paling banyak beredar di kalangan
manusia dan kebutuhan akan mereka demikian urgen, yaitu:
1. Binatang ternak berupa unta, sapi, dan kambing/domba.
2. Biji-bijian dan buah-buahan (hasil tanaman).
3. Dua benda yang merupakan penopang alam semesta, yaitu emas dan perak.
4. Harta perdagangan dengan berbagai macamnya.
Empat jenis harta yang disebutkan di atas semuanya disepakati oleh ulama, kecuali harta perdagangan.
Ada khilaf di antara ulama apakah harta perdagangan terkena zakat atau
tidak. Permasalahan ini telah kami bahas pada Rubrik Problema Anda edisi
45 dengan judul Zakat Uang, maka pada kajian ini kami tidak
mengulanginya.
Jenis-jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya
Ada beberapa jenis harta yang diperselisihkan zakatnya oleh ulama:
Rikaz (Harta Terpendam Peninggalan Jahiliah)
Rikaz
secara bahasa meliputi harta terpendam dan barang tambang. Adapun
menurut istilah syariat maknanya terbatas pada harta terpendam
peninggalan jahiliah dan tidak termasuk hasil tambang, menurut pendapat
yang benar. Ini adalah pendapat jumhur ulama bersama Ibnu Hazm
rahimahullahu dan dibenarkan oleh Al-Albani rahimahullahu. Yang
menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu:
وَالْـمَعْدِنُ جُبَارٌ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Korban pertambangan mati sia-sia (tanpa ganti rugi)1 dan pada rikaz ada seperlima bagian yang wajib dibayarkan.” (HR. Bukhari: 1499 dan Muslim:1710)
Dalam
hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan
hukum yang berlaku pada barang tambang dan rikaz. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan makna antara keduanya menurut istilah syariat.
Al-’Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/95): “Makna
jahiliah adalah masa sebelum Islam. Apabila kita mendapatkan harta
terpendam dalam bumi dan ada alamat/tanda jahiliah padanya, misalnya
harta itu adalah mata uang yang dikenali sebelum Islam atau tertera
padanya tahun berlakunya sebelum Islam, dan yang semisalnya, maka itu
adalah rikaz.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwa seperlima bagian yang wajib
dikeluarkan dari rikaz adalah zakat. Namun pendapat ini lemah dengan
beberapa alasan:
1.
Pada rikaz tidak ada persyaratan nishab berdasarkan keumuman hadits.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan wajibnya seperlima
bagian dari rikaz yang ditemukan secara umum dan tidak membatasinya pada
rikaz dengan jumlah tertentu. Maka berapapun jumlah rikaz yang
ditemukan wajib dibayarkan seperlimanya. Ini adalah pendapat jumhur
ulama, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Al-Albani, dan Al-’Utsaimin
rahimahumullah.
2.
Rikaz yang wajib dibayarkan seperlimanya tidak terbatas pada rikaz emas
dan perak. Hal ini berdasarkan keumuman hadits, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan wajibnya seperlima bagian dari
rikaz secara umum tanpa membatasinya dengan rikaz emas dan perak. Maka
rikaz apa saja yang ditemukan wajib dibayarkan seperlimanya, meskipun
bukan emas dan perak. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dirajihkan oleh
Al-Albani dan Al-’Utsaimin. Adapun hadits yang membatasinya dengan emas
dan perak adalah hadits yang dha’if (lemah), yaitu hadits Abu Hurairah
rahiyallahu ‘anhu:
فِي
الرِّكَازِ الْـخُمُسُ. قِيْلَ: وَمَا الرِّكَازُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: الذَّهَبُ وَالفِضَّةُ الَّذِي خَلَقَهُ اللهُ فِي الْأَرْضِ يَوْمَ
خُلِقَتْ
“Pada
rikaz ada seperlima bagian yang harus dibayarkan.” Ada yang bertanya:
“Apa rikaz itu, wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Emas dan perak yang
Allah ciptakan di bumi sejak hari diciptakannya.”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dan menghukuminya sebagai hadits yang
dha’if jiddan (sangat lemah), beliau juga menukilkan pendha’ifan hadits
ini dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Hadits ini juga didha’ifkan
oleh Az-Zaila’i rahimahullahu dalam Nashbur Rayah pada Bab fi Al-Ma’adin
war Rikaz dan Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah hal. 377,
karena dalam sanadnya ada rawi yang matruk (ditinggalkan/ditolak)
bernama ‘Abdullah bin Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi.
Dua
hukum di atas menunjukkan bahwa seperlima bagian yang wajib dikeluarkan
dari rikaz bukan zakat. Seperlima bagian tersebut salah satu dari dua
kemungkinan berikut ini:
•
Seperlima tersebut adalah seperlima bagian yang dikenal dalam syariat
Islam sebagai harta fai’ yang disalurkan untuk mashlahat/kepentingan
umum kaum muslimin. Jadi penyalurannya adalah penyaluran seperlima
bagian dari harta yang dirampas dari musuh tanpa perang (dikenal dengan
istilah fai’) dan penyaluran seperdua puluh lima bagian dari harta
rampasan perang (dikenal dengan ghanimah). Hal ini sesuai dengan makna
rikaz yang merupakan harta terpendam peninggalan orang kafir di masa
jahiliah yang ditemukan oleh pemerintahan Islam. Ini adalah pendapat
jumhur ulama, dirajihkan oleh Al-’Utsaimin rahimahullahu.
•
Seperlima tersebut penyalurannya kembali kepada kebijakan imam kaum
muslimin (pemerintah), disalurkan untuk maslahat yang dipandang oleh
pemerintah. Pendapat ini beralasan tidak ada dalam As-Sunnah yang
menunjukkan bahwa seperlima itu adalah zakat atau sebagai fai’. Ini
adalah pendapat Abu ‘Ubaid rahimahullahu dan dipilih oleh Al-Albani
rahimahullahu.
Sepertinya yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama bahwa seperlima tersebut adalah fai’. Wallahu a’lam.
Madu
Al-Imam Abu Hanifah dan Ahmad rahimahumallah berpendapat bahwa madu terkena kewajiban zakat. Namun pendapat ini lemah.
Sebab pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu jenis harta
hingga ada dalil yang menunjukkannya. Sementara dalam hal ini tidak ada
dalil yang menunjukkannya, baik dari sisi nash, keumuman dalil maupun
qiyas. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini tidak ada yang
tsabit (tetap) dan semuanya dha’if (lemah). Tidak pula masuk dalam
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah kalian berinfaq/berzakat dengan
harta yang baik-baik dari hasil usaha kalian dan apa-apa yang kami
keluarkan untuk kalian dari bumi.” (Al-Baqarah: 267)
Sebab
madu bukan hasil bumi yang keluar dari bumi. Secara qiyas pun tidak
tepat untuk disamakan dengan hasil bumi, karena madu adalah cairan yang
keluar dari binatang yang bernama lebah, sehingga tepatnya disamakan
dengan susu yang diperah dari binatang di mana susu perah sendiri tidak
ada zakatnya.
Ada
suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar
dari Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu yang sanadnya hasan, namun
tidak menunjukkan wajibnya zakat pada madu dan justru menunjukkan tidak
adanya zakat. Abu Dawud dan An-Nasa’i meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
rahiyallahu ‘anhuma:
جَاءَ
هِلَالٌ أَحَدُ بَنِي مُتْعَانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
بِعُشُورِ نَحْلٍ لَهُ, وَكَانَ سَأَلَهُ أَنْ يُحْمِيَ لَهُ وَادِيًا
يُقَالُ لَهُ: سَلَبَةَ, فَحَمَى لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
ذَلِكَ الْوَادِي, فَلَمَّا وُلِّيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ كَتَبَ
سَفْيَانُ بْنُ وَهْبٍ إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ, فَكَتَبَ
عُمَرُ: إِنْ أَدَّى إِلَيْكَ مَا كَانَ يُؤَدِّي إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم مِنْ عُشُوْرِ نَحْلِهِ فَاحْمِ لَهُ سَلَبَةَ, وَإِلاَّ
فَإِنَّماَ هُوَ ذُباَبُ غَيْثٍ يَأْكُلُهُ مَنْ يَشَاءُ
Salah
seorang Bani Mut’an bernama Hilal datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyerahkan sepersepuluh madu hasil lebahnya dan
adalah dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberi perlindungan hukum negara atas lembah yang bernama Salabah.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perlindungan hukum
atas lembah itu untuknya. Tatkala ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu
‘anhu diangkat menjadi khalifah, Sufyan bin Wahab menulis kepadanya
bertanya tentang hal itu, maka ‘Umar menulis jawabannya: “Jika dia
membayarkan kepadamu apa yang dulu dia bayarkan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebesar sepersepuluh hasil lebahnya, maka
berilah perlindungan hukum negara kepadanya. Jika tidak, maka
sesungguhnya madu itu adalah hasil dari lebah yang akan dimakan oleh
siapa saja yang mau.”
(Dihasankan sanadnya oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam
Fathul Bari [3/408]/Bab Al-’Usyru Fi Ma Yusqa Min Ma’ As-Sama’ dan
Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 810, Tamamul Minnah
hal. 374, dan Shahih Abi Dawud no. 1600)
Hadits
ini menunjukkan bahwa sepersepuluh yang diambil oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bayaran atas perlindungan hukum
yang diberikan olehnya selaku pemerintah. Jika tidak ada perlindungan
hukum dari pemerintah, maka sesungguhnya lebah yang ada di lembah/hutan
bukan milik perseorangan dan siapa saja yang ingin mengambil, halal
baginya. Sebagaimana ditunjukkan oleh kitab yang ditulis ‘Umar bin
Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu kepada Sufyan bin Wahab. Pemahaman ini
dinyatakan oleh Ibnu Zanjawaih rahimahullahu dalam Al-Amwal,
Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Ma’alim As-Sunan, Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu dalam Fathul Bari (3/408), dan Al-Albani rahimahullahu
dalam Tamamul Minnah hal. (374).
Kesimpulannya,
yang rajih (kuat) adalah pendapat Asy-Syafi’i, Malik, dan jumhur ulama
rahimahumullah bahwa tidak ada kewajiban zakat pada madu. Pendapat ini
yang dirajihkan oleh Ibnul Mundzir, Al-Albani, Al-Wadi’i, dan
Al-’Utsaimin rahimahumullah.
Barang tambang selain emas dan perak
Al-Imam
Ahmad rahimahullahu berpendapat bahwa seluruh hasil tambang yang
beraneka ragam terkena zakat berdalilkan dengan keumuman firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah kalian berinfaq/berzakat dengan
harta yang baik-baik dari hasil usaha kalian dan apa-apa yang kami
keluarkan untuk kalian dari bumi.” (Al-Baqarah: 267)
Namun
pendalilan ini tidak tepat dan berkonsekuensi bahwa segala sesuatu yang
keluar dari bumi sebagai hasil bumi -di daratan maupun di lautan- ada
zakatnya, padahal tidak demikian dan tidak ada ulama yang berpendapat
demikian.
Dalam
hal ini sebenarnya ada hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dha’if (lemah), yaitu hadits Bilal
bin Al-Harits rahiyallahu ‘anhu:
أَنَّ النّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَخَذَ مِنَ الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَّةِ الصَّدَقَةَ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungut zakat dari pertambangan Qabaliyyah.” (HR. Abu Dawud, Malik, dan Al-Hakim)
Hadits
ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, namun
ijtihad keduanya keliru. Hadits ini didha’ifkan oleh Al-Imam
Asy-Syafi’i, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla pada permasalahan no. 700, dan
Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 830), karena sanadnya mursal
(terputus).
Oleh
karena itu yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa
barang-barang tambang selain emas dan perak tidak ada zakatnya. Karena
pada asalnya suatu harta tidak terkena kewajiban zakat hingga ada dalil
yang menunjukkannya, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang
menunjukkan wajibnya zakat barang-barang tambang. Maka kita berjalan di
atas hukum asal tersebut dan menyatakan tidak ada zakatnya. Ini adalah
madzhab Malik, Asy-Syafi’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah.
Adapun
barang tambang berupa emas dan perak, maka keumuman dalil-dalil
wajibnya zakat emas dan perak meliputinya. Maka barang tambang emas dan
perak wajib dibayarkan zakatnya sebesar seperempat puluh (2,5 %), jika
mencapai nishab dinar (emas) dan dirham (perak) serta telah sempurna
haulnya. Hal ini telah kami terangkan pada pembahasan zakat emas dan
perak, walhamdulillah.
Barang permata selain emas & perak, minyak ambar & misk (kesturi), serta ikan
Sebagian
ulama ada yang berpendapat bahwa barang-barang permata selain emas dan
perak, seperti berlian, mutiara, zamrud, dan permata lainnya terkena
kewajiban zakat. Namun tidak diragukan lagi lemahnya pendapat ini,
karena pada asalnya setiap harta terbebas dari zakat hingga ada dalil
yang menetapkannya, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang
menetapkan dan menunjukkan adanya zakat pada permata-permata tersebut.
Maka wajib untuk berjalan di atas hukum asal tersebut bahwa permata
dengan berbagai ragamnya selain emas dan perak tidak ada zakatnya dan
ini adalah pendapat jumhur ulama bersama Ibnu Hazm rahimahullahu.
Demikian
pula hukumnya minyak ambar dan kesturi, serta ikan, pendapat yang benar
adalah pendapat jumhur bersama Ibnu Hazm rahimahullahu yang mengatakan
tidak ada zakatnya, karena tidak ada dalil yang menetapkan dan
menunjukkannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1
Artinya jika ada seseorang menyewa pekerja di suatu pertambangan, lalu
pekerja tersebut mendapat musibah pertambangan dan meninggal, maka yang
menyewa tidak bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas
kematiannya.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari Judul: Jenis-jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya
Demikianlah Artikel Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat
Sekianlah artikel Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat dengan alamat link http://bismillah-go.blogspot.com/2013/07/jenis-jenis-harta-apa-saja-yang-dikenai.html
0 Komentar untuk "Jenis-jenis Harta Apa Saja yang Dikenai Zakat"
TINGGALKAN KOMENTAR DISINI