Sebuah buku menarik bertajuk Susuk Malang Melintang (2006) karya Agus Sunyoto diterbitkan untuk meluruskan pandangan keliru tentang ajaran Syekh Siti Jenar — akar aliran Islam kejawen dan tasawuf wahdatul wujud.
Buku yang terdiri dari tujuh jilid tersebut seperti sengaja menghadirkan antitesa untuk menggugurkan pandangan yang kurang pas tentang wali kontroversial itu, termasuk meluruskan kesalahpahaman masyarakat Islam tentang ajaran-ajaran sang wali yang cenderung dianggap sesat, seperti ditulis dalam banyak buku yang terbit sebelumnya.
Salah satu informasi penting yang ditemukan oleh Agus adalah bahwa Syekh Siti Jenar tidak meninggal karena dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat selama ini. Jika temuan Agus itu benar, berarti ada semacam penyimpangan sejarah wali-wali di Nusantara, yang berarti juga penyimpangan sejarah Islam, untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.
Berdasar penelitian terhadap sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno, Agus menyimpulkan bahwa persepsi tentang Syekh Siti Jenar selama ini banyak yang keliru. Temuan-temuan penting tersebut dikemukakan Agus pada acara peluncuran bukunya di Surabaya, belum lama ini.
Jika betul memang ada penyimpangan, atau bahkan penggelapan sejarah, dan temuan Agus itu benar, berarti kehadiran buku Susuk Malang Melintang menjadi sangat penting. Meski belum dapat dianggap menyamai The Da Vinci Code karya Dan Brown dalam mengguncang iman penganut agama tertentu, sebagian masyarakat (Jawa) yang menganut ‘ajaran sesat’ (atau ‘yang disesatkan’) yang diyakini berasal dari Syekh Siti Jenar bisa jadi terperangah setelah membaca buku itu. Begitu juga mereka yang memiliki persepsi keliru tentang sang wali.
Harapan baiknya adalah, keimanan mereka yang ‘sesat’ atau ‘disesatkan’ itu bisa tercerahkan dan kembali ke ajaran Islam yang benar. Dan, inilah manfaat penting buku: tidak hanya memberi pengetahuan tapi juga meluruskan tesis yang salah dan mengubah opini publik menjadi lebih benar. Dalam konteks itu, buku tidak hanya menjadi agen ilmu pengetahuan, tapi juga agen perubahan.
Seperti ditegaskan dalam peluncuran buku itu, tujuan Agus pun jelas, meluruskan stigma jelek Syekh Siti Jenar. Dan, upaya pelurusannya disepakati oleh budayawan Mohammad Sobary, Setyo Yuwono Sudikan, dan KH Agus Ali Masyhuri, yang tampil sebagai pembahas.
Temuan Agus yang juga penting, dan dibeberkan dalam buku itu, adalah bahwa Syekh Siti Jenar ternyata juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) Islam dan tidak mengajarkan sasahidan atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
Para pengikut Syekh Siti Jenar, menurut temuan Agus, menganggap persepsi orang tentang wali ke-sembilan tersebut selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan.
Ajaran yang paling populer dari Syek Siti Jenar, yang banyak ditafsirkan secara keliru sehingga berkembangan kesalahan persepsi tentang sang wali, adalah manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia). Ajaran ini, menurut Agus, merujuk pada Alquran bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu. Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
Dengan tesis-tesis anti-tesisnya itu, seperti diakui budayawan Setyo Yuwono Sudikan, berarti Agus Sunyoto telah melakukan semacam dekonstruksi terhadap sosok Syekh Siti Jenar melalui buku. Ia telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar.
Jauh sebelum Agus, budayawan sufistik Abdul Hadi WM juga sudah meyakini bahwa Syekh Siti Jenar bukan tokoh yang sesat. Ada penggelapan informasi tentang sang wali oleh penguasa. Syekh Siti Jenar disingkirkan oleh penguasa Demak karena dianggap berbahaya, seperti nasib yang menimpa Hamzah Fansyuri pada masa Kesultanan Aceh. Jadi, bukan karena persoalan ajaran, tapi lebih untuk kepentingan politik-kekuasaan.
Memang begitulan ‘interaksi negatif’ antara penguasa dan tokoh kritis. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya. Jika perlu, mereka disingkirkan, seperti dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh kritis lainnya.
Dengan kekuatan penguasa sebagai panutan dan pemegang pusat informasi, pandangan masyarakat yang umumnya paternalistik pun dapat disesatkan, sehingga karakter sang tokoh benar-benar dihabisi. Di mana-mana, di hampir tiap zaman, penguasa kerap melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh yang semestinya dapat diteladani oleh masyarakat, seperti Mohammad Natsir dan Syeh Siti Jenar, diberi stigma negatif agar dilupakan.
Buku karya Agus itu, seperti diakui Mohammad Sobary, juga membuktikan bahwa sejarah tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tidak selalu final. Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada. Melalui buku yang ditulis dengan kesungguhan dan kerja keras itu, Agus berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar.
Buku yang terdiri dari tujuh jilid tersebut seperti sengaja menghadirkan antitesa untuk menggugurkan pandangan yang kurang pas tentang wali kontroversial itu, termasuk meluruskan kesalahpahaman masyarakat Islam tentang ajaran-ajaran sang wali yang cenderung dianggap sesat, seperti ditulis dalam banyak buku yang terbit sebelumnya.
Salah satu informasi penting yang ditemukan oleh Agus adalah bahwa Syekh Siti Jenar tidak meninggal karena dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat selama ini. Jika temuan Agus itu benar, berarti ada semacam penyimpangan sejarah wali-wali di Nusantara, yang berarti juga penyimpangan sejarah Islam, untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.
Berdasar penelitian terhadap sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno, Agus menyimpulkan bahwa persepsi tentang Syekh Siti Jenar selama ini banyak yang keliru. Temuan-temuan penting tersebut dikemukakan Agus pada acara peluncuran bukunya di Surabaya, belum lama ini.
Jika betul memang ada penyimpangan, atau bahkan penggelapan sejarah, dan temuan Agus itu benar, berarti kehadiran buku Susuk Malang Melintang menjadi sangat penting. Meski belum dapat dianggap menyamai The Da Vinci Code karya Dan Brown dalam mengguncang iman penganut agama tertentu, sebagian masyarakat (Jawa) yang menganut ‘ajaran sesat’ (atau ‘yang disesatkan’) yang diyakini berasal dari Syekh Siti Jenar bisa jadi terperangah setelah membaca buku itu. Begitu juga mereka yang memiliki persepsi keliru tentang sang wali.
Harapan baiknya adalah, keimanan mereka yang ‘sesat’ atau ‘disesatkan’ itu bisa tercerahkan dan kembali ke ajaran Islam yang benar. Dan, inilah manfaat penting buku: tidak hanya memberi pengetahuan tapi juga meluruskan tesis yang salah dan mengubah opini publik menjadi lebih benar. Dalam konteks itu, buku tidak hanya menjadi agen ilmu pengetahuan, tapi juga agen perubahan.
Seperti ditegaskan dalam peluncuran buku itu, tujuan Agus pun jelas, meluruskan stigma jelek Syekh Siti Jenar. Dan, upaya pelurusannya disepakati oleh budayawan Mohammad Sobary, Setyo Yuwono Sudikan, dan KH Agus Ali Masyhuri, yang tampil sebagai pembahas.
Temuan Agus yang juga penting, dan dibeberkan dalam buku itu, adalah bahwa Syekh Siti Jenar ternyata juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) Islam dan tidak mengajarkan sasahidan atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
Para pengikut Syekh Siti Jenar, menurut temuan Agus, menganggap persepsi orang tentang wali ke-sembilan tersebut selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan.
Ajaran yang paling populer dari Syek Siti Jenar, yang banyak ditafsirkan secara keliru sehingga berkembangan kesalahan persepsi tentang sang wali, adalah manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia). Ajaran ini, menurut Agus, merujuk pada Alquran bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu. Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
Dengan tesis-tesis anti-tesisnya itu, seperti diakui budayawan Setyo Yuwono Sudikan, berarti Agus Sunyoto telah melakukan semacam dekonstruksi terhadap sosok Syekh Siti Jenar melalui buku. Ia telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar.
Jauh sebelum Agus, budayawan sufistik Abdul Hadi WM juga sudah meyakini bahwa Syekh Siti Jenar bukan tokoh yang sesat. Ada penggelapan informasi tentang sang wali oleh penguasa. Syekh Siti Jenar disingkirkan oleh penguasa Demak karena dianggap berbahaya, seperti nasib yang menimpa Hamzah Fansyuri pada masa Kesultanan Aceh. Jadi, bukan karena persoalan ajaran, tapi lebih untuk kepentingan politik-kekuasaan.
Memang begitulan ‘interaksi negatif’ antara penguasa dan tokoh kritis. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya. Jika perlu, mereka disingkirkan, seperti dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh kritis lainnya.
Dengan kekuatan penguasa sebagai panutan dan pemegang pusat informasi, pandangan masyarakat yang umumnya paternalistik pun dapat disesatkan, sehingga karakter sang tokoh benar-benar dihabisi. Di mana-mana, di hampir tiap zaman, penguasa kerap melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya. Tokoh-tokoh yang semestinya dapat diteladani oleh masyarakat, seperti Mohammad Natsir dan Syeh Siti Jenar, diberi stigma negatif agar dilupakan.
Buku karya Agus itu, seperti diakui Mohammad Sobary, juga membuktikan bahwa sejarah tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tidak selalu final. Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada. Melalui buku yang ditulis dengan kesungguhan dan kerja keras itu, Agus berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar.